Kebijakan sosial hindia belanda
Sejarah
cjeleanorp2g1r4
Pertanyaan
Kebijakan sosial hindia belanda
1 Jawaban
-
1. Jawaban r1m4hsy1
Kebijakan sosial pada Sistem Tanam Paksa (STP)
Beberapa perubahan sosial akibat STP sebagai berikut :
1) Pengambil-alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meskipun mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka
2) Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga
3) Secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter
4) Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya
5) Menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, Tionghoa, Arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri
6) Melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti),kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawab penuh) telah menggantikan istilahnumpang dan sikep.Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanahcultuurstelsel. Dengan demikian, tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh.Pelaksanaan STP carat dengan penyimpangan ketentuan dan penyelewengan jabatan. Penguasa meberlakukancultuurprocenten, yaitu hadiah panenan bagi para pejabat yang dapat menyerahkan hasil tanaman lebih banyak. Akibatnya, para pajabat semakin menekan penduduk sehingga beban penduduk semakin berat. Reaksi terhadap STP inilah yang melatarbelakangi pemerintah mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada tahun 1870. Dalam Agrarische Wet terdapat pernyataan bahwa “Semua tanah yang tidak terbukti memiliki bukti hak milik (eigendom) adalah menjadi domain negara atau milik negara.